Rabu, 07 November 2007

PUzzle

Liana menutup mata dengan telapak tangan kanannya ketika lidah Rahung, lelaki yang berusia sebelas belas tahun lebih muda darinya mencapai tempat dimana anak lelakinya lahir lima tahun lalu. Mata yang sejak tadi menatap langit-langit kamar yang kelabu, melihat bercak-bercak bekas air yang menggenang, rumah laba-laba yang ada di tiga sudut kamar, serta sebuah poster Bob Marley yang sudah sangat tua menempel di dinding yang penuh dengan bercak-bercak bekas air yang meresap lembab di musim hujan yang berdampingan dengan sebuah foto seorang ibu yang sedang memandikan anaknya di sebuah pemukiman padat penghuni berukuran 10 R yang dibingkai dengan baik, foto yang sangat disukai lelaki itu dari sekian banyak foto serupa yang dibuatnya.
Yang tergambar di foto itu adalah sesuatu yang tidak pernah didapatkannya.Rak buku yang terbuat dari kayu berkualitas rendah teronggok bersebelahan dengan jendela kamar yang tertutup rapat. Hanya ada enam buah buku yang mengisi bagian tengah rak itu. Semuanya adalah buku tentang fotografi dan tiga majalah World Press Photo yang semuanya dibeli oleh Liana.
Di bagian paling atas, tumpukan kertas HVS kosong tertutup debu. Di bagian bawah tepi lembaran kertas skripsi Rahung bergerak membuka dan menutup sesuai dengan datangnya angin yang berhembus dari kipas angin kecil yang diletakkan di sudut kamar yang tidak juga berhasil membuat kamar itu menjadi dingin dan peluh di punggung Rahung menyerpih.“Aku kan enggak pernah menuntut apa-apa dari kamu, kenapa kita harus selesai?”Dalam kegelapan pandangannya, Liana masih mendengar pertanyaan Rahung dua jam lalu, bersamaan dengan itu, Liana merasakan bibir lelaki itu turun ke betisnya.“Karena kita harus selesai,” jawab Liana.“Suamimu curiga?”Liana menggeleng.“Kamu nggak sayang lagi sama aku?”Liana menatap mata Rahung, abu-abu, kelabu, awan-awan yang menggumpal.
Saat itu dia teringat Alif, anaknya yang kalau merajuk dan sedang sedih dan mau menangis matanya serupa Rahung. Untuk pertama kali sejak pertemuan pertama mereka, Liana berinisiatif memeluk kepala Rahung, tetapi lelaki itu menolak dan tidak menangis. Dia pergi ke sudut kamar, duduk diatas kursi yang terbuat dari anyaman bambu yang sudah dipotong kakinya, menatap Liana seperti menuntut jawaban.“Jangan tanyakan itu,” kata Liana.Bibir Rahung mencium jejari kaki Liana. Perempuan itu terkejut dan reflek menarik kakinya, tetapi Rahung menahan dan terus menciumi bagian itu, sesuatu yang tidak pernah dilakukannya selama tahun-tahun kebersamaan mereka.Liana ingat bagaimana percintaan pertama mereka. Rahung sangat gugup. Usianya baru awal dua puluh dan dia mengakui itu adalah percintaan pertamanya. Dalam setiap sentuhan Rahung Liana bisa merasakan tangan yang gemetar, degup jantung yang kencang, peluh yang membanjir dan keragu-raguan. Kontras dengan suaminya yang fasih seribu satu gaya Kamasutra. Yang hapal dengan bagian tubuh Liana yang dikiranya dengan itu bisa membuatnya bahagia diakhir percintaan.Liana ingat bagaimana kondom beberapa kali lepas dari tangan Rahung ketika akan memakainya. Ketika sudah terpakai, penis lelaki itu sudah tidak bisa ereksi karena tidak nyaman dengan kondom. Tetapi dia berusaha dan gagal. Liana dengan sabar menunggu Rahung terbiasa dengan benda itu. Untuk pertamakali, Rahung hanya bertahan empat menit dan meledak di tubuh Liana yang sepanjang percintaan itu tidak pernah menutup matanya sekalipun. Dia melihat dengan jelas tubuh telanjang Rahung. Melihat kegugupan di wajahnya, peluh di pundak, mata yang redup dan rambutnya yang ikal. Liana menikmati pemandangan itu.
Dia menikmati percintaan yang sebentar itu. Ketika selesai, Rahung meletakkan kepalanya diatas payudara Liana. Keduanya baru bangun ketika alarm yang Liana setel di ponsel berbunyi, itu tanda untuk menjemput Alif di play group. Alarm itu terus menjadi bagian ketiga diantara mereka.Rahung pernah melempar ponsel Liana ke dinding dalam sebuah pertemuan mereka. “Kenapa hubungan kita hanya sebatas alarm ponsel,” erangnya waktu itu sementara Liana memunguti serpihan ponsel yang berserakan dalam diam.Tetapi tidak ada pilihan lain. Rahung akhirnya berusaha membiasakan diri dengan alarm itu.Liana masih menutup matanya ketika dia merasakan tubuh Rahung naik ke atasnya. Dia membuka mata ketika lelaki itu memasukinya. Ditatapnya wajah Rahung, hal yang hanya dilakukannya di percintaan pertama mereka. Melihat setiap detil ; mata yang redup, alis yang bersatu satu sama lain, bibir yang sedikit terbuka dan basah, rambut ikalnya yang jatuh di kening.Melihat wajah Rahung, Liana menjadi begitu sedih, matanya menjadi buram, lalu dia mendorong tubuh Rahung, berbalik dengan mengempitkan kedua kakinya rapat-rapat seperti janin dalam kandungan, menangis.“Untuk terakhir kali,” kata Liana lima belas menit sebelumnya sambil membuka satu persatu pakaiannya. Tetapi Rahung sama sekali tidak bergeming. Lelaki itu hanya duduk di kursi bambu. Disampingnya koran bekas dan tas Liana bertumpukan.Liana mendekati Rahung, sambil terus menatap matanya, Liana membuka kancing celana jeans lusuh yang sudah dipotong selutut yang dipakai Rahung. Lelaki itu masih tak bergeming meski penisnya sudah ada di dalam mulut Liana yang terus berusaha membuat Rahung ereksi, tetapi tidak berhasil. Liana terus mencoba.Empat menit kemudian, dengan kasar dia mendorong tubuh Liana ke kasur tipis yang nyaris rata dengan lantai. Membuka pakaian yang masih menempel di tubuhnya lalu mencumbu Liana yang terlihat pasrah meski tangan Rahung menyentuh bagian-bagian tubuhnya dengan kasar. Bibirnya meninggalkan dua cupangan di sekitar payudara, hal yang dilarang Liana untuk dilakukan. Memasukkan jari-jari di vaginanya, hal yang sangat dibenci Liana. Sampai kemudian lelaki itu kembali menjadi lembut, mencium lututnya yang menekuk, menjelajahi setiap inci tubuhnya dengan lidah yang hangat.Liana masih terbaring miring sambil menangis sementara Rahung memasukinya dari belakang. Dia merasakan hangat penis lelaki itu yang biasanya hanya dirasakan ketika bercinta dengan suaminya. Sejenak Liana terjaga, Rahung telah melepas kondom yang dipakainya. Liana mencoba berontak tetapi tubuhnya terguncang oleh hentakan tubuh Rahung yang memang sengaja dibuat kasar, lalu dengan paksa Rahung menelungkupkan tubuh Liana dan mengunci posisi itu dan melanjutkan hentakan demi hentakan, memasuki tubuh perempuan itu dengan kasar. Teringat kalau dia sudah tidak memakai alat kontrasepsi sebab seminggu sebelumnya suaminya mengatakan kalau Alif sudah saatnya punya adik dan meminta Liana tidak lagi meminum pil kontrasepsinya. Meski Liana tidak siap untuk hamil lagi, tetapi sejak tiga hari yang lalu, dia tidak lagi meminum pil-pil itu.Liana mencoba mendorong tubuh Rahung dari atas tubuhnya, tetapi sia-sia, lelaki tiu seperti memakukan tubuhnya di tubuh Liana sampai akhirnya Rahung meledak di dalam tubuh Liana yang berusaha untuk menekukkan tubuhnya supaya bisa bernafas. Cukup lama baru Rahung melepaskan tubuhnya dari tubuh Liana.Waktu memakai celana dalamnya, Liana merasakan sakit di selangkangannya. Tetapi dia tidak berani meraba bagian itu untuk memastikan apakah ada darah.
Rahung masih berbaring menatapnya berpakaian dan mengemasi barang-barangnya. Tanpa menoleh lagi, Liana meninggalkan kamar kost lelaki itu.Adzan magrib baru saja selesai ketika Liana menyusuri trotoar. Sengaja dia tidak memanggil taksi. Tidak ada yang menunggunya di rumah, jadi dia merasa tidak perlu terburu-buru. Anak dan suaminya sedang berakhir pekan di sebuah tempat wisata di pinggir kota, pergi camping dengan rombongan taman kanak-kanak tempat anaknya sekolah. Acara itu memang hanya untuk bapak dan anak.
Di sebuah perempatan jalan, Liana berhenti untuk melihat purnama yang sedang naik tepat di sebelah lampu yang menjadi ciri khas kota tempat tinggalnya. Entah sudah berapa lama dia tidak menikmati suasana jalanan seperti itu, juga melihat bulan dari balik atap rumah-rumah tua, melihat bulan yang terbelah oleh kabel listrik.Ketika sampai di rumah satu jam kemudian, kaki kanannya sudah lecet dan selangkangannya makin terasa perih. Segera dia masuk ke kamar mandi dan menyalakan air untuk memenuhi bathtub. Di dapur, dia memenuhi gelas dengan air putih dingin lalu menenggaknya sampai habis, dilanjutkan dengan dua gelas berikutnya. Setelah itu dia kembali ke kamar mandi dan menenggelamkan tubuhnya ke dalam air yang masih berusaha memenuhi setiap ruang yang tersedia. Dirasakannya perih di luka-luka yang baru tercipta.Dengan piyama, Liana memasuki kamar bermain anaknya yang bersebelahan dengan kamar tidurnya.
Ruangan itu terlihat rapi. Liana duduk diatas kursi kecil milik Alif, menatap setiap suduh ruangan, rak yang berisi komik-komik, jejeran mainan yang mereka belikan dan hadiah-hadiah yang tidak pernah berhenti mengalir sebab Alif adalah cucu pertama keluarganya dan keluarga suaminya. Menatapi satu persatu foto alif sejak lahir sampai ulang tahunnya yang ke lima beberapa minggu lalu di dinding sebelah kanan.Liana meraih puzzle yang berada tidak jauh dari jangkauannya.
Genggaman tangan Liana begitu lemah membuat puzzle itu jatuh ke lantai dan berserakan. Tetapi Liana hanya melihat saja tanpa bermaksud mengambil dan merapikannya. Ditatapnya puzzle yang berserakan itu.Pada puzzle itu dia melihat wajah anaknya tertawa, duduk di pundak ayahnya. Pada puzzle itu dia melihat wajah Rahung yang tersenyum lebar ketika menerima majalah World Press Photo yang tidak akan pernah terbeli olehnya kalau tidak dihadiahi oleh Liana. Pada puzzle itu dia melihat mata anaknya yang berkaca-kaca ketika keinginannya tidak terkabul. Pada puzzle itu dia melihat mata Rahung untuk terakhir kalinya. Pada puzzle yang berserakan itu dia melihat dirinya sendiri, hancur berkeping-keping. Pandangannya menjadi buram oleh air yang menggenang. Bersamaan dengan itu, beberapa dari jutaan sperma Rahung yang tumpah di vagina Liana, telah mencapai indung telur.

Short Story By: Udinregar
dikutip bebas dari: http://archipelagongs.blogspot.com

Tidak ada komentar:

 
gitamarhendra@2007 all right reserved