Rabu, 05 Desember 2007

Waktu Mendung Bersenandung


1

Barangkali sudah habis waktu, NAFSU dan bahasa. Biarkan jarak bicara, membentang tubuh di sekujur waktu. Aku sudah katakan kemarin, segala apa yang kita bincang, cuma pelepas KANGEN di terik siang. Aku tidak ingin kamu menyerahkan diri hanya pada satu titik lintasan.
Hari ini kubilang sekali lagi, terimalah matahari bersama GELAPnya, sebagaimana malam juga membawa TERANG, bagai fosfor di bundar coklat MATAMU. Jika begitu, bernafaslah. Rasakan udara yang mengering bersama tenggorokan yang kau basahi WHISKY semalam, padahal oksigen di cuaca peradaban macam begini bisa membuat mabuk, setan arak paling jempolan sekalipun.

2

Aku tak hendak bilang, sudahilah sudah petualangan yang menghisap darah sejarah itu. Tapi, injaklah tanah dan kaukan sadar air kencingmu berlumur nanah dan segera dengan seluruh ketakutanmu, kau berlari ke mantri obat untuk minta satu dua CAMACYTIME. Ingatlah, tak ada yang bisa disembuhkan dengan amarah. Karena cuma IBLIS yang berikrar dengan dendam. Dan sungguh sayang aku tidak sedang menduga kau tengah bersekutu dengan Nasib buruk. Hingga membiarkan kulitmu membusuk dihisap malam dan geram. Aku cuma mengingatkan disisimu sedang berdiri seorang manusia dengan sayap di pundaknya yang tak pernah berhenti menghapus air mata dengan ujung batu masa depannya. Aku kenal orang itu, sangat kenal, karena tak lain, ia dirimu sendiri.

Senin, 26 November 2007

Mbok Yo Seng Eling Dek Biyen Sikil Midak Beling

Dalam Bahasa Indonesia kurang lebih berarti "ingatlah dahulu kakimu menginjak pecahan kaca", salah satu falsafah jawa yang menarik hati saya. Ya kadang kita lupa mensyukuri bahwa sekarang kita punya sepatu punya sandal yang melindungi kulit telapak kaki kita dari pecahan kaca, paku atau kotoran. Kita lupa betapa susahnya hidup tanpa memakai alas kaki. Kata-kata emas tersebut saya temukan saat menyimak sebuah teater berjudul OKB (Orang Kaya Baru) yang dibawakan dengan apik oleh anak-anak dari teater SMA De Britto Yogya, di Taman Budaya Surakarta pada malam hari, tanggal 1 Maret 2003, saya ingat betul karena hari itu bertepatan dengan hari jadian saya dengan kekasih pertama (yang sebentar lagi akan menikah, dengan orang lain tentunya).

Teater tersebut menyampaikan dengan bahasa yang mudah untuk sebuah falsafah yang adiluhung. Dikisahkan tentang seseorang hidup diera kolonial bernama Jordana yang mendadak jadi kaya. Lalu dengan segala cara dia mencoba mengejar martabat, gelar, tata-cara, gengsi dan pergaulan golongan elit. Bahkan namanya pun diubah mengikuti trend nama kaum bangsawan di saat itu. Tapi karena dia bukan berasal dari golongan itu, maka kemudian lahirlah situasi-situasi yang sangat komikal. Kelucuan yang sebetulnya sangat getir.

Untuk bisa masuk ke dalam tata cara pergaulan elit, Jordana mengikuti banyak kursus. Dia kursus privat dari guru musik, guru tari, guru silat bahkan guru filsafat. Bahkan penampilannya pun di atur agar selalu tampak gemerlap. Penjahit kaum elit Batavia pun didatangkan untuk membuat pakaian khusus model bangsawan.
Kegetiran muncul saat dia menolak pinangan Bagus Kleonte lantaran pemuda itu bukan dari keturunan bangsawan. Dia ingin Sriworo Lusili, putrinya semata wayang menikah dengan pemuda "berdarah biru", sebuah keputusan yang membuat banyak pihak bingung, terlebih bagi orang-orang yang tahu tentang sejarah Jordana yang dulunya hanya seorang pedagang kain.

Namun Bagus Kleonte tak hilang akal, ia mendapat bantuan dari teman-temannya. Bagus Kleonte didandani bak pangeran dari negeri seberang, lalu teman-temannya memerankan diri menjadi prajurit pengawal dan punggawa keraton. Mereka lalu datang kembali dan mengaku sebagai rombongan dari negeri atas angin (negeri yang tak pernah ada). Katanya mereka sengaja datang jauh-jauh hanya untuk melamar Sriworo Lusili sekaligus memberi gelar kehormatan bagi Jordana. Karena gelar bangsawan sangatlah dinanti-nanti oleh Jordana, tanpa meneliti lebih lanjut akhirnya dia menerima pinangan pangeran putra mahkota negeri atas angin yang sebenarnya adalah Bagus Kleonte yang tengah menyamar. Tragis hingga akhir kisah, Jordana tak pernah tahu bahwa semua hanyalah tipuan belaka.

Nah jangan kaget jika di era sekarang makin banyak saja "jordana-jordana" masa kini yang mengalami jet lag antara hidup sederhana dengan hidup mewah. Apalagi sekarang ini banyak peluang bisnis irasional yang mampu menghantarkan pelakunya menjadi OKB. Yang enak, ya hidup enak , tapi tidak berlebihan dan tetap siap jika sewaktu-waktu karena sesuatu hal harus hidup sederhana lagi.

Yang jelas falsafah di atas akan senantiasa saya jadikan pegangan hidup. Falsafah yang membuat hidup saya senantiasa bersyukur dengan apapun yang saya peroleh, serta senantiasa mengingat bagaimana dulu saya hidup serba pas-pasan (terutama saat masa kuliah), mengingat saat dimana harus patungan untuk membeli rokok, bahkan di saat-saat tertentu harus mencari "rokok setengah pakai" (untuk memperhalus kata puntung rokok) yang dibuang mahasiswa kelas eksekutif yang notabene sudah punya penghasilan sendiri, saat dimana makan nasi dua bungkus untuk tiga orang, saat dimana harus banting tulang untuk mencari sponsor hanya untuk sebuah pendakian kecil, saat dimana harus puas dengan air putih yang dimasak sendiri di sekretariat MAPALA kampus dengan memandang iri mahasiswa lain yang meneguk soft drinknya.

Selasa, 20 November 2007

Nasib Kami (buruh kontrak di akhir tahun)

Kami hanya bisa menunggu, apakah nama kami akan tetap ada di list surat pemanggilan penandatangan kontrak.
kami hanya mampu bermimpi, berapa besaran rupiah kenaikan upah atas keringat kami di tahun depan.
kami hanya akan membisu, membayangkan apakah pasal-pasal dalam kontrak masih akan sama dengan tahun kemarin.
kami hanya akan menggerutu dalam hati, melihat perbandingan mencolok antara kewajiban ini, itu, dilarang ini itu, harus begini, begitu, dibanding hak yang itu-itu saja
kami lelah di tempat yang seperti ini, tapi kami juga tak punya cukup nyali untuk pergi dari sini....
kami boneka atas konspirasi anda-anda.....hai orang-orang tua!!!

"......."






Sobat.....

Selurus-lurusnya jalan adisucipto, pasti ada sedikit belokan
Semulus-mulusnya jalan aspal adisucipto, pasti ada sedikit lobangnya
Hidup hanyalah lalu lintas ramai, dengan rambu yang tersamar


Thanks To ayat...for nice pics


Rabu, 07 November 2007

PUzzle

Liana menutup mata dengan telapak tangan kanannya ketika lidah Rahung, lelaki yang berusia sebelas belas tahun lebih muda darinya mencapai tempat dimana anak lelakinya lahir lima tahun lalu. Mata yang sejak tadi menatap langit-langit kamar yang kelabu, melihat bercak-bercak bekas air yang menggenang, rumah laba-laba yang ada di tiga sudut kamar, serta sebuah poster Bob Marley yang sudah sangat tua menempel di dinding yang penuh dengan bercak-bercak bekas air yang meresap lembab di musim hujan yang berdampingan dengan sebuah foto seorang ibu yang sedang memandikan anaknya di sebuah pemukiman padat penghuni berukuran 10 R yang dibingkai dengan baik, foto yang sangat disukai lelaki itu dari sekian banyak foto serupa yang dibuatnya.
Yang tergambar di foto itu adalah sesuatu yang tidak pernah didapatkannya.Rak buku yang terbuat dari kayu berkualitas rendah teronggok bersebelahan dengan jendela kamar yang tertutup rapat. Hanya ada enam buah buku yang mengisi bagian tengah rak itu. Semuanya adalah buku tentang fotografi dan tiga majalah World Press Photo yang semuanya dibeli oleh Liana.
Di bagian paling atas, tumpukan kertas HVS kosong tertutup debu. Di bagian bawah tepi lembaran kertas skripsi Rahung bergerak membuka dan menutup sesuai dengan datangnya angin yang berhembus dari kipas angin kecil yang diletakkan di sudut kamar yang tidak juga berhasil membuat kamar itu menjadi dingin dan peluh di punggung Rahung menyerpih.“Aku kan enggak pernah menuntut apa-apa dari kamu, kenapa kita harus selesai?”Dalam kegelapan pandangannya, Liana masih mendengar pertanyaan Rahung dua jam lalu, bersamaan dengan itu, Liana merasakan bibir lelaki itu turun ke betisnya.“Karena kita harus selesai,” jawab Liana.“Suamimu curiga?”Liana menggeleng.“Kamu nggak sayang lagi sama aku?”Liana menatap mata Rahung, abu-abu, kelabu, awan-awan yang menggumpal.
Saat itu dia teringat Alif, anaknya yang kalau merajuk dan sedang sedih dan mau menangis matanya serupa Rahung. Untuk pertama kali sejak pertemuan pertama mereka, Liana berinisiatif memeluk kepala Rahung, tetapi lelaki itu menolak dan tidak menangis. Dia pergi ke sudut kamar, duduk diatas kursi yang terbuat dari anyaman bambu yang sudah dipotong kakinya, menatap Liana seperti menuntut jawaban.“Jangan tanyakan itu,” kata Liana.Bibir Rahung mencium jejari kaki Liana. Perempuan itu terkejut dan reflek menarik kakinya, tetapi Rahung menahan dan terus menciumi bagian itu, sesuatu yang tidak pernah dilakukannya selama tahun-tahun kebersamaan mereka.Liana ingat bagaimana percintaan pertama mereka. Rahung sangat gugup. Usianya baru awal dua puluh dan dia mengakui itu adalah percintaan pertamanya. Dalam setiap sentuhan Rahung Liana bisa merasakan tangan yang gemetar, degup jantung yang kencang, peluh yang membanjir dan keragu-raguan. Kontras dengan suaminya yang fasih seribu satu gaya Kamasutra. Yang hapal dengan bagian tubuh Liana yang dikiranya dengan itu bisa membuatnya bahagia diakhir percintaan.Liana ingat bagaimana kondom beberapa kali lepas dari tangan Rahung ketika akan memakainya. Ketika sudah terpakai, penis lelaki itu sudah tidak bisa ereksi karena tidak nyaman dengan kondom. Tetapi dia berusaha dan gagal. Liana dengan sabar menunggu Rahung terbiasa dengan benda itu. Untuk pertamakali, Rahung hanya bertahan empat menit dan meledak di tubuh Liana yang sepanjang percintaan itu tidak pernah menutup matanya sekalipun. Dia melihat dengan jelas tubuh telanjang Rahung. Melihat kegugupan di wajahnya, peluh di pundak, mata yang redup dan rambutnya yang ikal. Liana menikmati pemandangan itu.
Dia menikmati percintaan yang sebentar itu. Ketika selesai, Rahung meletakkan kepalanya diatas payudara Liana. Keduanya baru bangun ketika alarm yang Liana setel di ponsel berbunyi, itu tanda untuk menjemput Alif di play group. Alarm itu terus menjadi bagian ketiga diantara mereka.Rahung pernah melempar ponsel Liana ke dinding dalam sebuah pertemuan mereka. “Kenapa hubungan kita hanya sebatas alarm ponsel,” erangnya waktu itu sementara Liana memunguti serpihan ponsel yang berserakan dalam diam.Tetapi tidak ada pilihan lain. Rahung akhirnya berusaha membiasakan diri dengan alarm itu.Liana masih menutup matanya ketika dia merasakan tubuh Rahung naik ke atasnya. Dia membuka mata ketika lelaki itu memasukinya. Ditatapnya wajah Rahung, hal yang hanya dilakukannya di percintaan pertama mereka. Melihat setiap detil ; mata yang redup, alis yang bersatu satu sama lain, bibir yang sedikit terbuka dan basah, rambut ikalnya yang jatuh di kening.Melihat wajah Rahung, Liana menjadi begitu sedih, matanya menjadi buram, lalu dia mendorong tubuh Rahung, berbalik dengan mengempitkan kedua kakinya rapat-rapat seperti janin dalam kandungan, menangis.“Untuk terakhir kali,” kata Liana lima belas menit sebelumnya sambil membuka satu persatu pakaiannya. Tetapi Rahung sama sekali tidak bergeming. Lelaki itu hanya duduk di kursi bambu. Disampingnya koran bekas dan tas Liana bertumpukan.Liana mendekati Rahung, sambil terus menatap matanya, Liana membuka kancing celana jeans lusuh yang sudah dipotong selutut yang dipakai Rahung. Lelaki itu masih tak bergeming meski penisnya sudah ada di dalam mulut Liana yang terus berusaha membuat Rahung ereksi, tetapi tidak berhasil. Liana terus mencoba.Empat menit kemudian, dengan kasar dia mendorong tubuh Liana ke kasur tipis yang nyaris rata dengan lantai. Membuka pakaian yang masih menempel di tubuhnya lalu mencumbu Liana yang terlihat pasrah meski tangan Rahung menyentuh bagian-bagian tubuhnya dengan kasar. Bibirnya meninggalkan dua cupangan di sekitar payudara, hal yang dilarang Liana untuk dilakukan. Memasukkan jari-jari di vaginanya, hal yang sangat dibenci Liana. Sampai kemudian lelaki itu kembali menjadi lembut, mencium lututnya yang menekuk, menjelajahi setiap inci tubuhnya dengan lidah yang hangat.Liana masih terbaring miring sambil menangis sementara Rahung memasukinya dari belakang. Dia merasakan hangat penis lelaki itu yang biasanya hanya dirasakan ketika bercinta dengan suaminya. Sejenak Liana terjaga, Rahung telah melepas kondom yang dipakainya. Liana mencoba berontak tetapi tubuhnya terguncang oleh hentakan tubuh Rahung yang memang sengaja dibuat kasar, lalu dengan paksa Rahung menelungkupkan tubuh Liana dan mengunci posisi itu dan melanjutkan hentakan demi hentakan, memasuki tubuh perempuan itu dengan kasar. Teringat kalau dia sudah tidak memakai alat kontrasepsi sebab seminggu sebelumnya suaminya mengatakan kalau Alif sudah saatnya punya adik dan meminta Liana tidak lagi meminum pil kontrasepsinya. Meski Liana tidak siap untuk hamil lagi, tetapi sejak tiga hari yang lalu, dia tidak lagi meminum pil-pil itu.Liana mencoba mendorong tubuh Rahung dari atas tubuhnya, tetapi sia-sia, lelaki tiu seperti memakukan tubuhnya di tubuh Liana sampai akhirnya Rahung meledak di dalam tubuh Liana yang berusaha untuk menekukkan tubuhnya supaya bisa bernafas. Cukup lama baru Rahung melepaskan tubuhnya dari tubuh Liana.Waktu memakai celana dalamnya, Liana merasakan sakit di selangkangannya. Tetapi dia tidak berani meraba bagian itu untuk memastikan apakah ada darah.
Rahung masih berbaring menatapnya berpakaian dan mengemasi barang-barangnya. Tanpa menoleh lagi, Liana meninggalkan kamar kost lelaki itu.Adzan magrib baru saja selesai ketika Liana menyusuri trotoar. Sengaja dia tidak memanggil taksi. Tidak ada yang menunggunya di rumah, jadi dia merasa tidak perlu terburu-buru. Anak dan suaminya sedang berakhir pekan di sebuah tempat wisata di pinggir kota, pergi camping dengan rombongan taman kanak-kanak tempat anaknya sekolah. Acara itu memang hanya untuk bapak dan anak.
Di sebuah perempatan jalan, Liana berhenti untuk melihat purnama yang sedang naik tepat di sebelah lampu yang menjadi ciri khas kota tempat tinggalnya. Entah sudah berapa lama dia tidak menikmati suasana jalanan seperti itu, juga melihat bulan dari balik atap rumah-rumah tua, melihat bulan yang terbelah oleh kabel listrik.Ketika sampai di rumah satu jam kemudian, kaki kanannya sudah lecet dan selangkangannya makin terasa perih. Segera dia masuk ke kamar mandi dan menyalakan air untuk memenuhi bathtub. Di dapur, dia memenuhi gelas dengan air putih dingin lalu menenggaknya sampai habis, dilanjutkan dengan dua gelas berikutnya. Setelah itu dia kembali ke kamar mandi dan menenggelamkan tubuhnya ke dalam air yang masih berusaha memenuhi setiap ruang yang tersedia. Dirasakannya perih di luka-luka yang baru tercipta.Dengan piyama, Liana memasuki kamar bermain anaknya yang bersebelahan dengan kamar tidurnya.
Ruangan itu terlihat rapi. Liana duduk diatas kursi kecil milik Alif, menatap setiap suduh ruangan, rak yang berisi komik-komik, jejeran mainan yang mereka belikan dan hadiah-hadiah yang tidak pernah berhenti mengalir sebab Alif adalah cucu pertama keluarganya dan keluarga suaminya. Menatapi satu persatu foto alif sejak lahir sampai ulang tahunnya yang ke lima beberapa minggu lalu di dinding sebelah kanan.Liana meraih puzzle yang berada tidak jauh dari jangkauannya.
Genggaman tangan Liana begitu lemah membuat puzzle itu jatuh ke lantai dan berserakan. Tetapi Liana hanya melihat saja tanpa bermaksud mengambil dan merapikannya. Ditatapnya puzzle yang berserakan itu.Pada puzzle itu dia melihat wajah anaknya tertawa, duduk di pundak ayahnya. Pada puzzle itu dia melihat wajah Rahung yang tersenyum lebar ketika menerima majalah World Press Photo yang tidak akan pernah terbeli olehnya kalau tidak dihadiahi oleh Liana. Pada puzzle itu dia melihat mata anaknya yang berkaca-kaca ketika keinginannya tidak terkabul. Pada puzzle itu dia melihat mata Rahung untuk terakhir kalinya. Pada puzzle yang berserakan itu dia melihat dirinya sendiri, hancur berkeping-keping. Pandangannya menjadi buram oleh air yang menggenang. Bersamaan dengan itu, beberapa dari jutaan sperma Rahung yang tumpah di vagina Liana, telah mencapai indung telur.

Short Story By: Udinregar
dikutip bebas dari: http://archipelagongs.blogspot.com

Selasa, 06 November 2007

Belum Ada (Takkan Ada) Presiden Seberani Soekarno


Tak ada yang meragukan lagi keberanian presiden pertama kita itu, mungkin karena pengalaman hidup yang pahit sejak masa pra kemerdekaan dulu yang beberapa kali ditawan, dipenjara dan diasingkan, bahkan hingga menjelang ajal menjemput, Bapak yang satu ini pun harus rela diisolasi oleh penerusnya sendiri (walaupun dengan cara yang lebih halus). Kepemimpinan yang sangat teguh dalam memperjuangkan harga diri bangsa membuatnya disegani dua raksasa dunia. Amerika dan Uni Soviet. Harga diri bangsa, hmm tampaknya kini tinggal impian bagi rakyat yang hidup saat ini. Bagaimana tidak? Dimana harga diri bangsa, saat TKI kita disiksa oleh Negara tetangga, saat kapal-kapal Malaysia menyenggol tapal batas di Ambalat, saat burung-burung besi F-16 USAF merobek angkasa Indonesia tanpa merasa bersalah, saat pasir-pasir laut kita dicuri Singapura, saat INDOSAT, BCA dijual ke pihak luar. Belum lagi saat ini otak anak-anak muda hanya dipenuhi oleh BREADTALK, STARBUCKS, MC D, yang kesemuanya murni produk luar dengan dibantu tenaga kita yang dibayar sangat murah dalam operasionalnya.
Soekarno begitu dicintai rakyatnya, menurut cerita kakek saya, dulu sering dijumpai pemandangan orang-orang desa berjalan kaki atau naik gerobak sapi berkilo-kilometer hanya untuk melihat langsung dan mendengar pidato Bung karno. Dan ini berjalan sangat alami, tidak bisa disamakan dengan era Soeharto dimana semua alat Negara dari Bupati, Camat, Lurah, Koramil, Polisi, Guru dikerahkan untuk mencari masa demi menunjukkan kepada dunia, bahwa pemerintahan Soeharto begitu direstui oleh rakyatnya.
Pidato seorang Soekarno pun sering membuat forum PBB terhenyak, suaranya menggelegar-gelegar membangunkan para delegasi dari kebosanan mengikuti konferensi.
Sekarang kita hanya bangsa kecil, bangsa yang dianggap sarang teroris yang membuat yang mulia Presiden Amerika merasa pantatnya gatal untuk duduk berlama-lama saat kunjungannya ke Bogor beberapa waktu silam. Tampaknya sekelumit tulisan Bung Karno dalam Autobiografinya patut kita renungkan lagi

"Aku ingin Indonesia dikenal orang, aku ingin dunia tahu bagaimana rupa orang Indonesia dan melihat bahwa kami bukan ‘bangsa yang tolol’ seperti orang Belanda berulang-ulang menyebut kami, bukan lagi ‘inlader goblok yang hanya pantas diludahi’, bahwa kami bukanlah lagi penduduk kelas dua yang berjalan merunduk-runduk dengan memakai sarung dan ikat kepala, membungkuk-bungkukkan diri seperti yang diinginkan oleh majikan-majikan kolonial kami dulu"

Kamis, 01 November 2007

Siapa Yang Salah???


Siapa Yang Salah Ya?? Muridnya...Gurunya...Ortunya...Pembantunya...Pertanyaannya...Situasi Kehidupannya...Uang...Budaya...Televisi...?? atau apanya??

222

Sedikit memberi tips bagi anda-anda yang ingin mendengarkan suara anda sendiri dengan murah meriah. Jika anda kebetulan pemegang handphone berbasis CDMA (All Operator) silahkan tekan 222 dari pesawat anda lalu tekan call atau OK, jika HP anda termasuk jenis yang "umum" dan tidak bermasalah maka suara anda dari mik langsung dapat dikembalikan melalui speaker HP. Lebih praktis dibanding menggunakan fitur perekam di HP yang kadang memakan banyak memori atau melalui tape recorder yang membutuhkan kaset. Anda bisa bicara dan mendengarkan suara anda sendiri sepuasnya sampai baterai anda habis, LIVE dan gratis pula. Dengan mendengarkan suara kita sendiri kita bisa tahu bagaimana sih intonasi suara kita saat melafalkan suatu kata, atau saat sedih, emosi, terkejut dsb. Ini juga bisa membantu melatih kepercayaan diri, public speaking, menghadapi wawancara kerja dll.
Secara teknis cara tersebut sebenarnya sering dipakai oleh teknisi HP CDMA atau customer service operator telekomunikasi seperti saya untuk mengecek kualitas sebuah handphone, khususnya pada mic dan speaker. Selamat Mencoba....

Senin, 29 Oktober 2007



jika aku bisa menghentikan perputaran waktu,

Disinilah aku ingin berhenti

padang rumput Tlogodlingo diantaranya hijaunya bukit 2054, 1818 dan anakan sidoramping , 20 Mei 2007, photo by "gereh"

Minggu, 21 Oktober 2007

Musik Peka Pasar atau Musik Murahan??

"Woo kamu ketahuan pacaran lagi, dengan dirinya teman baikku…woo", siapa sih yang gak kenal dengan lirik lagu itu. Awalnya saya sering denger dari adikku, tapi yah cuek2 aja sih paling cuman lagu baru punyanya anak-anak ABG bercelana pensil. Tapi kok lama-lama, lagu punya MATA atau KATA band (entah yang bener yang mana??) makin lama makin kondang aja, dan jadi hits di stasiun radio maupun televisi. Setelah mendalami lagu itu dari awal hingga akhir, wooo makin prihatin aja saya dengan industri musik Indonesia, masak lagu kayak gitu bisa masuk dapur rekaman seh. Aransemenya sederhana banget belum lagi liriknya yang sangat pendek (hanya satu bait prolog trus refrain), bahkan anak pra-sekolah pun akan segera hapal hanya dalam tempo lima menit.
Industri musik kita memang kadang bikin musisi itu sendiri terheran-heran, skill menjadi tidak penting dibandingkan tuntutan pasar dan segepok uang (sorry saya jadi under estimate). Kalo diserang dengan kritik2 tajam sperti "kenapa liriknya begitu sederhana??" jawabannya bisa ditebak, yaitu easy listening. Kata tsb seolah menjadi azimat sakti untuk menjadi pembenaran terhadap kritik-kritik yang menyerang.
Saya sendiri yang sejak usia ABG sudah menggemari musik-musik berat dan dalem yang lirik-liriknya mengandung nilai filosofi nan tinggi. PADI, Iwan Fals, Setiawan Jody, Ebiet G Ade (yang lagunya tetap enak didengar di setiap bencana alam muncul) bahkan saya pun mengakui kalau Peterpan itu hebat dengan lirik-lirik yang dalem walaupun bernuansa melow.
Untuk tema lagu yang sama (persilungkuhan) bandingkan dengan liriknya Iwan Fals berikut ini: "kau wanita terhebat yang pernah kumiliki, kau mengapa kau pergi, mengapa kau pergi…..semoga kau temukan apa yang kaucari yang tak kaudapatkan dari aku" lebih mantap kan, jauh banget dong, bahkan dibandingkan dengan "Sephia"-nya Sheila On 7 (terlepas dari aransemenmya yang diisukan sebagai hasil jiplakan) tapi ya itu semua kembali ke sense of music masing2 kita.
Teman-teman nongkrong saya kebetulan banyak yang berkecimpung di musik cadas, rock and roll dan reggae tentu saja selalu akan menertawakan band-band sejenis itu. Kangen Band sering mereka pelesetkan sebagai Katrok Band he he he, maju terus guyss kita lawan keblingeran selera musik masyarakat kita zaman sekarang yang makin hari makin gak bermutu aja. Saya lebih menghargai kalian yang untuk menghasilkan satu lirik lagu lengkap harus dibela-belain berpuasa sambil bertapa di Puncak Merapi.
Tapi kembali ke atas, selera musik memang tergantung masing-masing kita sendiri tapi gak ada salahnya saya kasih comment-comment pedas di atas, maaf bagi yang tersinggung, silahkan kasih feed back bagiku its doesnt matter. Ya tunggu saja setahun, dua tahun , lima tahun kedepan apakah mereka akan tetap eksis. Atau hanya akan menjadi nisan kecil di kuburan bernama musik instan Indonesia.

Rabu, 10 Oktober 2007

Lantai Tiga Solo Grand Mall

Datang, masuk lift

Basement,
duh akhirnya dapat lift

Ground,
huh lama sekali waktu berjalan, padahal aku sudah rindu!!
Lantai 1,
darimana sih datangnya orang-orang ini? Bikin lama saja
Lantai 2,
pada mau kemana sih mereka? tambah banyak saja, tahu gini tadi naik eskalator
Lantai 3,
ting tong, akhirnya………mungkin kalau harus nunggu sebentar lagi gugurlah hati ini. Heh kunyuk apa pada gak bisa baca DAHULUKAN ORANG YANG KELUAR LIFT!!!

Pulang, lewat lift lagi

Lantai 3, mari masuk my first lady, jangan jauh-jauh dariku, hindari tatapan mata laki-laki nakal di sekitarmu, kadang mereka tampak begitu menawan.
Lantai 2,
ah orang-orang ini semakin banyak saja, andai saja mereka tiba-tiba menghilang
Lantai 1,
andai saja lift ini macet dan hanya menyisakan kita berdua, atau hanya bisa naik-turun tanpa berhenti-henti. Maka seperti di film-fim mari kita bercinta saja sambil menunggu regu penolong datang.
Lantai Ground,
ayo teruskan, tidak ada cctv kok.
Lantai Basement,
byaaarrr, ah semua ini hanya mimpi, kugandeng lengan kekasihku, “ayo nduk mulih….”

NOmor Hape Saya


Masih ada sedikit kaitan tentang artikel sebelumnya, nomor saya memang membawa kisah spesial, minimal bagi saya sendiri. Hampir semua orang sedikit mengangkat topi mengetahui nomor saya yang mereka bilang cantik, dengan dibumbui komentar “ah terang aja, wong kamu kerja di operator telekomunikasi mau bikin nomor kayak apapun pasti bisa”, yang biasanya saya balas dengan ledekan bernada sombong “Ya pastilah, bahkan pulsa aja mau berapapun, saya tinggal nulis kok!!!”, padahal kenyataan sebenarnya tidaklah semudah yang mereka bayangkan, la wong saya ini cuma buruh yang dikasih dasi. Bahasa jawanya “gedibal didandani rojo”.
Nomor tersebut saya peroleh dari tukar guling dengan seorang cewek rekan seprofesi. Orangnya manis sih, putih, berperawakan tinggi dan supel. Wajar aja kalau dibulan-bulan pertama saya sering nerima telpon menanyakan keberadaan teman saya tadi, sebut saja si Y. Rata-rata dari para laki-laki, yang dari gaya bicaranya sih mereka adalah penggemar si Y. Tapi sesuai dengan pesan khusus si Y, saya bilang kalau saya tidak tahu menahu tentang si Y, saya dapat nomor ini dari sebuah counter HP bla..bla…bla. Tapi kadang kalo pas lagi butuh media pelampiasan emosi, saya interogasi sambil sedikit membentak orang di seberang sana, dan ngaku kalo saya adalah tunangannya si Y, dan mereka langsung tampak ketakutan, he he he lumayan juga menurunkan kadar sakit kepala! Maaf ya Y. Akhirnya lama-lama gak ada lagi yang menelpon menanyakan si Y.
Pernah ada seorang warga keturunan yang menawar nomor saya itu seharga Rp. 1,5 juta, namun karena saya sedang dipenuhi lautan kebanggan dan merasa sayang terhadap nomor itu, saya tidak melepasnya. Gimana kalau 10 juta om, saya mencoba memberi harga yang fantastis, si om kelihatan mengernyitkan dahi. Andai saja dia memenuhi permintaan saya saat itu, wow begitu kayanya saya sekarang. Tapi nomor hape si om masih saya simpan sampai sekarang, siapa tahu suatu saat kepepet butuh uang he he. Sekali lagi maaf ya Y, nomor pemberianmu malah tak jadikan investasi.
Nomor saya memang mudah dihapal, bahkan banyak orang yang baru kenal saya tapi langsung hapal nomor tersebut. Saking sayangnya dengan nomor itu, saya tetap kekeuh tidak mau ganti nomor bahkan saat ada teror dari seseorang yang merasa kalah dalam persaingan cinta dengan saya. Tiap hari minimal sekali dia sms penuh dengan kata-kata umpatan dan sumpah serapah. Ya tak cuekin aja, anggap aja saya lagi berlangganan layanan sms premium. Gratis lagi!! Silahkan sms terus sampai jari anda tinggal tiga!!

Ada hal sepele tapi kadang menjengkelkan, kebetulan nomor saya mirip banget (cuma beda satu nomor di tengah) dengan nomor online sebuah radio swasta terkenal di kota ini yang mayoritas pendengarnya adalah kawula muda. Ada saja sms atau telpon nyasar ke hape saya, yang paling sering adalah sms request lagu. Dan parahnya kalo pas malam hari, saat mata baru tidur-tidur ayam tahu-tahu ada sms “bos, minta lagu s.o.a.d yang toxity, please ya, gw gak bisa tidur kalo belum dengar lagu itu, salam buat anak2 Smanega dan anak nongkrong di wedangan Pak Paidi, dari Kento “ DAMN!! Guwe baru aja mau tidur, kalo gak ada sms dari lu nyong!!
Walau sering dapet sms nyasar, biasanya sih tak cuekin aja, sambil berpikir kasihan ya udah buang pulsa, tapi gak dibacain ma penyiarnya, kalo pas lagi gokil saya balesin juga tuh sms “Maaf nomor radio itu ada di nomor sekian, ini nomor manajer broadcastingnya, jangan sampai salah nomor lagi ya dik!!”, eh kadang masih ada yang bales juga “Maaf, maaf lain kali tidak saya ulangi lagi, habis nomornya mirip sekali seeh, btw boleh kenalan gak, eh anda cewek atau cowok” Glodak!! Pernah juga aku iseng sms ke nomor radio itu, yah request lagu juga sih, trus si penyiar bilang, waduh mas nomornya kok mirip sekali dengan nomor radio kita, jangan-jangan tetangga lagi.

Customer Care 24-7


Ini cerita tentang efek dari sebuah pekerjaan, bekerja sebagai customer service di sebuah perusahaan telekomunikasi terkenal dengan jumlah pelanggan yang seabrek. Orang-orang di sekitar saya pasti sedikit banyak menggunakan jasa produk perusahaan tempat saya bekerja. Sedangkan saya sebagai customer service tentu sangat lucu kalau sampai tidak menguasai produk-produk atau tidak bisa memberikan solusi atas beberapa masalah yang dialami customer. Maka seperti sebuah kutub, saya selalu dikelilingi orang-orang dekat (atau yang jadi dekat) yang juga pelanggan produk-produk perusahaan saya. Walhasil nomor telepon saya 0271-70xxxxx yang kebetulan cukup mudah dihapal, layaknya sebuah nomor hot service sering menyalak tak peduli waktu, bahkan kadang di tengah malam ada saja sms mampir yang menanyakan bagaimana caranya mengaktivasi fitur ini, kenapa nomor saya tidak bisa dipakai, nomor saya hilang tolong diblokir, berapa tarif bicara dari nomor ini ke nomor itu pada jam sekian, berapa besar tagihan saya bulan ini, bagaimana cara koneksi internet dengan media ini, kenapa tagihan saya tiba-tiba banyak? Yah bagaimana lagi mereka semua adalah orang-orang yang saya kenal, mau gak mau harus diberi pelayanan ekstra layaknya pelanggan blue chip, kecuali untuk beberapa masalah atau pertanyaan yang secara etis memang tidak bisa sembarangan dijawab, seperti menanyakan nomor sekian-sekian teregistrasi atas nama siapa dan sebagainya.

Kadang jengah juga sih, karena mendadak saya bagai selebritis yang dikejar-kejar fans, mereka datang dari semua lini mulai dari teman saya sendiri, famili (yang kadang hubungan darahnya terlalu panjang diceritakan), teman bapak saya dari komunitas wartawan (tahu sendiri wartawan secara naluri selalu ingin diperlakukan khusus), teman-teman ibu (kalangan birokrat dari sopir hingga pejabat eselon), teman-teman adik saya (ABG yang kadang malah jatuh cinta pada suara saya), temannya pacar saya, saudara-nya teman saya, tetangga dan mantan tetangga, bahkan dari sesama rekan kerja tapi di unit lain. Kadang untuk urusan-urusan yang agak urgent mereka gak segan-segan datang ke rumah. Setelah urusan kelar ada juga yang memberi salam tempel (amplop), tapi demi ikut membangun citra positif perusahaan (good corporate governance) saya harus berjuang mati-matian untuk menolaknya, walau agak nyesel juga “waduh padahal lagi butuh uang nih” we ke kek.


Harusnya perusahaan tempat saya bekerja memberi pendapatan lebih dari yang sekarang, karena memang posisi seperti saya rawan menerima gratifikasi, suap, atau sekedar uang terimakasih. Selain itu sebagai kompensasi karena walau cuma sedikit saya telah berandil menjadi customer care 24-7 (24 jam sehari, 7 hari seminggu) bagi perusahaan. Padahal hitungan overtime adalah sekitar Rp. 7,500/ jam nah tinggal kalikan saja.

Anthurium Sang Dewa Rejeki


Trend bisnis anthurium membuat gatal juga untuk sedikit memberi testimoni. Apalagi ketika bisnis itu merambah orang-orang terdekatku. Anthurium yang konon dulu hanya dijadikan makanan kambing oleh beberapa masyarakat agraris di Indonesia kini tampil bak primadona yang digadang-gadang, dengan nilai ekonomis mencapai ratusan juta bahkan milyaran. Efek langsung yang saya rasakan adalah ketika sang mamah di rumah ikut mencoba mengkoleksi beberapa wave of love dan anthurium jenmani di rumah. Saya ingat betul waktu satu buah gelombang cinta yang sudah agak besar hilang dicuri maling, mamah saya menjadi begitu senewen, seisi rumah kena getahnya. Maklum saja kalau dijual katanya sih sudah laku barang satu-dua juta. Juga ketika tahu2 beberapa helai daun jemani dikerikiti tikus. Edan!! tahu juga tuh si tikus ada makan malam bercitra ekslusif. Untuk mencegah hal itu terulang lagi, lampu belakang terus menerus dihidupkan di malam hari, padahal dulunya lupa mematikan barang sebentar saja pasti dimarahi we ke kek kek. Saat sekeluarga hunting mobil di Jakarta dan kebetulan saya tidak bisa ikut, maka saya ikut repot juga memasukkan, menyirami dan mengeluarkan tanaman-tanaman itu. Tapi yah dijalani aja, sapa tahu menghasilkan extra income bagi keluarga, sapa tahu lagi bisa sedikit nyiprat ke saya (walau kelihatannya sih bagi mamah tumbuhan2 itu NOT FOR SALE).

Trus ada kisah lagi yang cukup menggelitik hati, ada seorang kawan yang dulunya masih kerja serabutan (kalo tak ingin dibilang mengangur), tapi sudah berani menikah dan sekarang sudah dikaruniai seorang anak. Dari dulu mungkin hidupnya pas-pasan, hanya mengandalkan gaji sang istri yang tidak seberapa tapi mendadak sontak dia mendapat pundi-pundi harta yang luar biasa ya dari helai-helai bunga ekor itu. Dengan modal uang dua jutaan rupiah dia bisa mendapat uang 75 juta, sebuah jumlah yang fantastis baginya tentu. Yah ikut bersyukur juga sih, walau kadang di sisi hati yang lain agak sengkring-sengkring. Bayangkan saya kerja banting tulang datang pagi, pulang malam dengan tingkat absensi 0 % selama tiga tahun saja tidak bisa mencapai penghasilan sebesar itu. Dia baru beberapa bulan saja sudah dapat segitu. Ya mungkin inilah yang dinamakan saben uwong duwe dalan dewe-dewe.

“Kriminalitas berkembang sejalan dengan dinamisasi masyarakat” ungkapan itu memang gak diragukan lagi keabsahannya. Maling-maling spesialis anthurium bermunculan, dibilang betul2 spesialis karena di beberapa TKP sering ditemui barang-barang berharga lain seperti HP high end, laptop, perhiasan bahkan uang tunai utuh tanpa disentuh. Kayaknya maling-maling itu telah dibutakan matanya, gak ada barang lain yang layak dicuri selain anthurium. Seorang teman saya di Satreskrim Poltabes agak sebel juga menangani trend kriminalitas terbaru ini, bagaimana tidak jika biasanya BB (barang bukti) yang dia tangani hanya sepeda motor, mobil atau barang-barang elektronik yang dengan digeletakkan saja di garasi atau ruangan khusus tidak akan menimbulkan masalah apa-apa. Lha ini berhubung BB yang didapat adalah mahkluk hidup yang didewakan (katanya) maka tentu butuh perawatan ekstra (saya membayangkan tubuhnya yang kekar dengan pakaian safari dan revolver terselip di pingang, dan menyirami berpuluh-puluh tanaman itu). Tapi dia melakukannya bukan karena iming-iming amplop dari korban (yang tentu saja tak rela tanamannya almarhum di kantor Polisi) tapi perintah langsung dari atasannya yang mengatakan ini sebagai wujud nyata Polisi pelayan masyarakat. Bagooooeeeeeeeeesss.

Cerita tentang maling jemani hampir tiap hari menghiasi halaman kriminal di surat kabar lokal. Pernah ada cerita seorang maling pemula ketahuan sama peronda, bagai film kartun dia bukannya lari tapi malah undercover di tengah-tengah pot berukuran besar sambil tangannya memanggul sebuah tanaman, mungkin dipikirnya biar orang-orang mengira dia adalah pot mahal berbentuk patung, ya pasti ketahuan lah. Walhasil tubuhnya jadi sansak hidup, sebelum di bawa ke kantor Polisi.

Banyak juga orang-orang yang kontra terhadap bisnis ini. Seorang dosen ekonomi bilang, bisnis seperti ini paling hanya bertahan satu-dua tahun sebelum mencapai titik jenuh. Dia mewanti-wanti para pelaku bisnis ini seharusnya jangan terlalu all out dalam berinvestasi. Seorang epistoholik dalam salah satu surat pembacanya mengatakan bisnis ini hanya menambah daftar panjang “kesakitan” masyarakat Indonesia. Bahkan saat saya mengikuti sebuah Kultum pas tarawih, seorang ustadz yang secara finansial termasuk golongan menengah keatas secara mengejutkan berpendapat ini adalah skenario global dari musuh-musuh Islam dan kaum kapitalis, dia mencontohkan kasus orang-orang yang lupa beribadah karena terlalu sibuk merawat tanaman itu, juga orang yang rela menjual rumah warisan bahkan menggadaikan cincin kawin hanya untuk membuat sebuah nursery. Terakhir secara tidak sengaja saat motor saya bocor, adalah percakapan antara si tukang tambal ban dengan seorang tukang parkir. Pak tua si tukang parkir bilang kalau itu semua gak jauh beda dengan judi, politik orang-orang pinter, lotere dan sebangsanya. Setelah dieksplore lebih, ternyata bapak itu begitu benci karena rumah tangga anak gadisnya jadi sedikit berantakan gara-gara sang suami lebih mementingkan belanja tanaman daripada untuk aqiqah (selamatan) anak pertamanya yang baru lahir. Juga saat teman-teman sang menantu berkunjung bukannya tanya anaknya laki-laki atau perempuan tapi malah sibuk menanyakan jemani-nya sudah berapa daun. Dengan setengah senewen si bapak memaki “kon rabi karo godong wae” (suruh menikah dengan daun saja), saya hanya tersenyum simpul, sayang ban saya sudah selesai diperbaiki.
Saya pribadi kelihatannya memang tidak begitu tertarik dengan bisnis itu, bukannya apa-apa saya malas aja menambah daftar stress saya dengan memelihara daun-daun itu. Sekarang bibitnya saja sudah dijual ratusan ribu rupiah, apa gak bikin pusing kalo terus-menerus mikir, wah jangan-jangan dimakan ulat atau tikus, raib di curi orang atau kena tipu beli bibit palsu. Huuh kayaknya volume otak saya sudah tidak cukup deh. Tapi saya juga tidak akan benci, mengkritik atau menyerang para kolektor dan pebisnis anthurium itu. Yah hitung-hitung ikut menambah kesejahteraan masayarakat (walau mungkin hanya sesaat) dan menambah hijau bumi nusantara ini. Konon trend bisnis tanaman hias ini sudah disiratkan dalam kitab ramalan jayabaya, Walahuallam…..

Sabtu, 06 Oktober 2007

Kerja dan kerja


Usia sudah menjelang 25, Rumah belum punya, Motor aja belum lunas, tabungan hanya lewat......maka hanya kerja dan kerja yang harus dilakukan, sebab pernikahan sudah menjadi mimpi di tiap malam hari...


Bapak, Ibu, calon istri dan calon mertua....semua sahabat, relasi, famili dan bahkan musuh2ku (heran aku orang sebaik guwe kok ya masih punya musuh) akan kutunjukkan pada kalian arti sebuah perjuangan....
jangan kau usap lumpur di sepatu, karena itu tanda sebuah perjuangan
 
gitamarhendra@2007 all right reserved