Rabu, 10 Oktober 2007

Anthurium Sang Dewa Rejeki


Trend bisnis anthurium membuat gatal juga untuk sedikit memberi testimoni. Apalagi ketika bisnis itu merambah orang-orang terdekatku. Anthurium yang konon dulu hanya dijadikan makanan kambing oleh beberapa masyarakat agraris di Indonesia kini tampil bak primadona yang digadang-gadang, dengan nilai ekonomis mencapai ratusan juta bahkan milyaran. Efek langsung yang saya rasakan adalah ketika sang mamah di rumah ikut mencoba mengkoleksi beberapa wave of love dan anthurium jenmani di rumah. Saya ingat betul waktu satu buah gelombang cinta yang sudah agak besar hilang dicuri maling, mamah saya menjadi begitu senewen, seisi rumah kena getahnya. Maklum saja kalau dijual katanya sih sudah laku barang satu-dua juta. Juga ketika tahu2 beberapa helai daun jemani dikerikiti tikus. Edan!! tahu juga tuh si tikus ada makan malam bercitra ekslusif. Untuk mencegah hal itu terulang lagi, lampu belakang terus menerus dihidupkan di malam hari, padahal dulunya lupa mematikan barang sebentar saja pasti dimarahi we ke kek kek. Saat sekeluarga hunting mobil di Jakarta dan kebetulan saya tidak bisa ikut, maka saya ikut repot juga memasukkan, menyirami dan mengeluarkan tanaman-tanaman itu. Tapi yah dijalani aja, sapa tahu menghasilkan extra income bagi keluarga, sapa tahu lagi bisa sedikit nyiprat ke saya (walau kelihatannya sih bagi mamah tumbuhan2 itu NOT FOR SALE).

Trus ada kisah lagi yang cukup menggelitik hati, ada seorang kawan yang dulunya masih kerja serabutan (kalo tak ingin dibilang mengangur), tapi sudah berani menikah dan sekarang sudah dikaruniai seorang anak. Dari dulu mungkin hidupnya pas-pasan, hanya mengandalkan gaji sang istri yang tidak seberapa tapi mendadak sontak dia mendapat pundi-pundi harta yang luar biasa ya dari helai-helai bunga ekor itu. Dengan modal uang dua jutaan rupiah dia bisa mendapat uang 75 juta, sebuah jumlah yang fantastis baginya tentu. Yah ikut bersyukur juga sih, walau kadang di sisi hati yang lain agak sengkring-sengkring. Bayangkan saya kerja banting tulang datang pagi, pulang malam dengan tingkat absensi 0 % selama tiga tahun saja tidak bisa mencapai penghasilan sebesar itu. Dia baru beberapa bulan saja sudah dapat segitu. Ya mungkin inilah yang dinamakan saben uwong duwe dalan dewe-dewe.

“Kriminalitas berkembang sejalan dengan dinamisasi masyarakat” ungkapan itu memang gak diragukan lagi keabsahannya. Maling-maling spesialis anthurium bermunculan, dibilang betul2 spesialis karena di beberapa TKP sering ditemui barang-barang berharga lain seperti HP high end, laptop, perhiasan bahkan uang tunai utuh tanpa disentuh. Kayaknya maling-maling itu telah dibutakan matanya, gak ada barang lain yang layak dicuri selain anthurium. Seorang teman saya di Satreskrim Poltabes agak sebel juga menangani trend kriminalitas terbaru ini, bagaimana tidak jika biasanya BB (barang bukti) yang dia tangani hanya sepeda motor, mobil atau barang-barang elektronik yang dengan digeletakkan saja di garasi atau ruangan khusus tidak akan menimbulkan masalah apa-apa. Lha ini berhubung BB yang didapat adalah mahkluk hidup yang didewakan (katanya) maka tentu butuh perawatan ekstra (saya membayangkan tubuhnya yang kekar dengan pakaian safari dan revolver terselip di pingang, dan menyirami berpuluh-puluh tanaman itu). Tapi dia melakukannya bukan karena iming-iming amplop dari korban (yang tentu saja tak rela tanamannya almarhum di kantor Polisi) tapi perintah langsung dari atasannya yang mengatakan ini sebagai wujud nyata Polisi pelayan masyarakat. Bagooooeeeeeeeeesss.

Cerita tentang maling jemani hampir tiap hari menghiasi halaman kriminal di surat kabar lokal. Pernah ada cerita seorang maling pemula ketahuan sama peronda, bagai film kartun dia bukannya lari tapi malah undercover di tengah-tengah pot berukuran besar sambil tangannya memanggul sebuah tanaman, mungkin dipikirnya biar orang-orang mengira dia adalah pot mahal berbentuk patung, ya pasti ketahuan lah. Walhasil tubuhnya jadi sansak hidup, sebelum di bawa ke kantor Polisi.

Banyak juga orang-orang yang kontra terhadap bisnis ini. Seorang dosen ekonomi bilang, bisnis seperti ini paling hanya bertahan satu-dua tahun sebelum mencapai titik jenuh. Dia mewanti-wanti para pelaku bisnis ini seharusnya jangan terlalu all out dalam berinvestasi. Seorang epistoholik dalam salah satu surat pembacanya mengatakan bisnis ini hanya menambah daftar panjang “kesakitan” masyarakat Indonesia. Bahkan saat saya mengikuti sebuah Kultum pas tarawih, seorang ustadz yang secara finansial termasuk golongan menengah keatas secara mengejutkan berpendapat ini adalah skenario global dari musuh-musuh Islam dan kaum kapitalis, dia mencontohkan kasus orang-orang yang lupa beribadah karena terlalu sibuk merawat tanaman itu, juga orang yang rela menjual rumah warisan bahkan menggadaikan cincin kawin hanya untuk membuat sebuah nursery. Terakhir secara tidak sengaja saat motor saya bocor, adalah percakapan antara si tukang tambal ban dengan seorang tukang parkir. Pak tua si tukang parkir bilang kalau itu semua gak jauh beda dengan judi, politik orang-orang pinter, lotere dan sebangsanya. Setelah dieksplore lebih, ternyata bapak itu begitu benci karena rumah tangga anak gadisnya jadi sedikit berantakan gara-gara sang suami lebih mementingkan belanja tanaman daripada untuk aqiqah (selamatan) anak pertamanya yang baru lahir. Juga saat teman-teman sang menantu berkunjung bukannya tanya anaknya laki-laki atau perempuan tapi malah sibuk menanyakan jemani-nya sudah berapa daun. Dengan setengah senewen si bapak memaki “kon rabi karo godong wae” (suruh menikah dengan daun saja), saya hanya tersenyum simpul, sayang ban saya sudah selesai diperbaiki.
Saya pribadi kelihatannya memang tidak begitu tertarik dengan bisnis itu, bukannya apa-apa saya malas aja menambah daftar stress saya dengan memelihara daun-daun itu. Sekarang bibitnya saja sudah dijual ratusan ribu rupiah, apa gak bikin pusing kalo terus-menerus mikir, wah jangan-jangan dimakan ulat atau tikus, raib di curi orang atau kena tipu beli bibit palsu. Huuh kayaknya volume otak saya sudah tidak cukup deh. Tapi saya juga tidak akan benci, mengkritik atau menyerang para kolektor dan pebisnis anthurium itu. Yah hitung-hitung ikut menambah kesejahteraan masayarakat (walau mungkin hanya sesaat) dan menambah hijau bumi nusantara ini. Konon trend bisnis tanaman hias ini sudah disiratkan dalam kitab ramalan jayabaya, Walahuallam…..

Tidak ada komentar:

 
gitamarhendra@2007 all right reserved