Senin, 29 Oktober 2007



jika aku bisa menghentikan perputaran waktu,

Disinilah aku ingin berhenti

padang rumput Tlogodlingo diantaranya hijaunya bukit 2054, 1818 dan anakan sidoramping , 20 Mei 2007, photo by "gereh"

Minggu, 21 Oktober 2007

Musik Peka Pasar atau Musik Murahan??

"Woo kamu ketahuan pacaran lagi, dengan dirinya teman baikku…woo", siapa sih yang gak kenal dengan lirik lagu itu. Awalnya saya sering denger dari adikku, tapi yah cuek2 aja sih paling cuman lagu baru punyanya anak-anak ABG bercelana pensil. Tapi kok lama-lama, lagu punya MATA atau KATA band (entah yang bener yang mana??) makin lama makin kondang aja, dan jadi hits di stasiun radio maupun televisi. Setelah mendalami lagu itu dari awal hingga akhir, wooo makin prihatin aja saya dengan industri musik Indonesia, masak lagu kayak gitu bisa masuk dapur rekaman seh. Aransemenya sederhana banget belum lagi liriknya yang sangat pendek (hanya satu bait prolog trus refrain), bahkan anak pra-sekolah pun akan segera hapal hanya dalam tempo lima menit.
Industri musik kita memang kadang bikin musisi itu sendiri terheran-heran, skill menjadi tidak penting dibandingkan tuntutan pasar dan segepok uang (sorry saya jadi under estimate). Kalo diserang dengan kritik2 tajam sperti "kenapa liriknya begitu sederhana??" jawabannya bisa ditebak, yaitu easy listening. Kata tsb seolah menjadi azimat sakti untuk menjadi pembenaran terhadap kritik-kritik yang menyerang.
Saya sendiri yang sejak usia ABG sudah menggemari musik-musik berat dan dalem yang lirik-liriknya mengandung nilai filosofi nan tinggi. PADI, Iwan Fals, Setiawan Jody, Ebiet G Ade (yang lagunya tetap enak didengar di setiap bencana alam muncul) bahkan saya pun mengakui kalau Peterpan itu hebat dengan lirik-lirik yang dalem walaupun bernuansa melow.
Untuk tema lagu yang sama (persilungkuhan) bandingkan dengan liriknya Iwan Fals berikut ini: "kau wanita terhebat yang pernah kumiliki, kau mengapa kau pergi, mengapa kau pergi…..semoga kau temukan apa yang kaucari yang tak kaudapatkan dari aku" lebih mantap kan, jauh banget dong, bahkan dibandingkan dengan "Sephia"-nya Sheila On 7 (terlepas dari aransemenmya yang diisukan sebagai hasil jiplakan) tapi ya itu semua kembali ke sense of music masing2 kita.
Teman-teman nongkrong saya kebetulan banyak yang berkecimpung di musik cadas, rock and roll dan reggae tentu saja selalu akan menertawakan band-band sejenis itu. Kangen Band sering mereka pelesetkan sebagai Katrok Band he he he, maju terus guyss kita lawan keblingeran selera musik masyarakat kita zaman sekarang yang makin hari makin gak bermutu aja. Saya lebih menghargai kalian yang untuk menghasilkan satu lirik lagu lengkap harus dibela-belain berpuasa sambil bertapa di Puncak Merapi.
Tapi kembali ke atas, selera musik memang tergantung masing-masing kita sendiri tapi gak ada salahnya saya kasih comment-comment pedas di atas, maaf bagi yang tersinggung, silahkan kasih feed back bagiku its doesnt matter. Ya tunggu saja setahun, dua tahun , lima tahun kedepan apakah mereka akan tetap eksis. Atau hanya akan menjadi nisan kecil di kuburan bernama musik instan Indonesia.

Rabu, 10 Oktober 2007

Lantai Tiga Solo Grand Mall

Datang, masuk lift

Basement,
duh akhirnya dapat lift

Ground,
huh lama sekali waktu berjalan, padahal aku sudah rindu!!
Lantai 1,
darimana sih datangnya orang-orang ini? Bikin lama saja
Lantai 2,
pada mau kemana sih mereka? tambah banyak saja, tahu gini tadi naik eskalator
Lantai 3,
ting tong, akhirnya………mungkin kalau harus nunggu sebentar lagi gugurlah hati ini. Heh kunyuk apa pada gak bisa baca DAHULUKAN ORANG YANG KELUAR LIFT!!!

Pulang, lewat lift lagi

Lantai 3, mari masuk my first lady, jangan jauh-jauh dariku, hindari tatapan mata laki-laki nakal di sekitarmu, kadang mereka tampak begitu menawan.
Lantai 2,
ah orang-orang ini semakin banyak saja, andai saja mereka tiba-tiba menghilang
Lantai 1,
andai saja lift ini macet dan hanya menyisakan kita berdua, atau hanya bisa naik-turun tanpa berhenti-henti. Maka seperti di film-fim mari kita bercinta saja sambil menunggu regu penolong datang.
Lantai Ground,
ayo teruskan, tidak ada cctv kok.
Lantai Basement,
byaaarrr, ah semua ini hanya mimpi, kugandeng lengan kekasihku, “ayo nduk mulih….”

NOmor Hape Saya


Masih ada sedikit kaitan tentang artikel sebelumnya, nomor saya memang membawa kisah spesial, minimal bagi saya sendiri. Hampir semua orang sedikit mengangkat topi mengetahui nomor saya yang mereka bilang cantik, dengan dibumbui komentar “ah terang aja, wong kamu kerja di operator telekomunikasi mau bikin nomor kayak apapun pasti bisa”, yang biasanya saya balas dengan ledekan bernada sombong “Ya pastilah, bahkan pulsa aja mau berapapun, saya tinggal nulis kok!!!”, padahal kenyataan sebenarnya tidaklah semudah yang mereka bayangkan, la wong saya ini cuma buruh yang dikasih dasi. Bahasa jawanya “gedibal didandani rojo”.
Nomor tersebut saya peroleh dari tukar guling dengan seorang cewek rekan seprofesi. Orangnya manis sih, putih, berperawakan tinggi dan supel. Wajar aja kalau dibulan-bulan pertama saya sering nerima telpon menanyakan keberadaan teman saya tadi, sebut saja si Y. Rata-rata dari para laki-laki, yang dari gaya bicaranya sih mereka adalah penggemar si Y. Tapi sesuai dengan pesan khusus si Y, saya bilang kalau saya tidak tahu menahu tentang si Y, saya dapat nomor ini dari sebuah counter HP bla..bla…bla. Tapi kadang kalo pas lagi butuh media pelampiasan emosi, saya interogasi sambil sedikit membentak orang di seberang sana, dan ngaku kalo saya adalah tunangannya si Y, dan mereka langsung tampak ketakutan, he he he lumayan juga menurunkan kadar sakit kepala! Maaf ya Y. Akhirnya lama-lama gak ada lagi yang menelpon menanyakan si Y.
Pernah ada seorang warga keturunan yang menawar nomor saya itu seharga Rp. 1,5 juta, namun karena saya sedang dipenuhi lautan kebanggan dan merasa sayang terhadap nomor itu, saya tidak melepasnya. Gimana kalau 10 juta om, saya mencoba memberi harga yang fantastis, si om kelihatan mengernyitkan dahi. Andai saja dia memenuhi permintaan saya saat itu, wow begitu kayanya saya sekarang. Tapi nomor hape si om masih saya simpan sampai sekarang, siapa tahu suatu saat kepepet butuh uang he he. Sekali lagi maaf ya Y, nomor pemberianmu malah tak jadikan investasi.
Nomor saya memang mudah dihapal, bahkan banyak orang yang baru kenal saya tapi langsung hapal nomor tersebut. Saking sayangnya dengan nomor itu, saya tetap kekeuh tidak mau ganti nomor bahkan saat ada teror dari seseorang yang merasa kalah dalam persaingan cinta dengan saya. Tiap hari minimal sekali dia sms penuh dengan kata-kata umpatan dan sumpah serapah. Ya tak cuekin aja, anggap aja saya lagi berlangganan layanan sms premium. Gratis lagi!! Silahkan sms terus sampai jari anda tinggal tiga!!

Ada hal sepele tapi kadang menjengkelkan, kebetulan nomor saya mirip banget (cuma beda satu nomor di tengah) dengan nomor online sebuah radio swasta terkenal di kota ini yang mayoritas pendengarnya adalah kawula muda. Ada saja sms atau telpon nyasar ke hape saya, yang paling sering adalah sms request lagu. Dan parahnya kalo pas malam hari, saat mata baru tidur-tidur ayam tahu-tahu ada sms “bos, minta lagu s.o.a.d yang toxity, please ya, gw gak bisa tidur kalo belum dengar lagu itu, salam buat anak2 Smanega dan anak nongkrong di wedangan Pak Paidi, dari Kento “ DAMN!! Guwe baru aja mau tidur, kalo gak ada sms dari lu nyong!!
Walau sering dapet sms nyasar, biasanya sih tak cuekin aja, sambil berpikir kasihan ya udah buang pulsa, tapi gak dibacain ma penyiarnya, kalo pas lagi gokil saya balesin juga tuh sms “Maaf nomor radio itu ada di nomor sekian, ini nomor manajer broadcastingnya, jangan sampai salah nomor lagi ya dik!!”, eh kadang masih ada yang bales juga “Maaf, maaf lain kali tidak saya ulangi lagi, habis nomornya mirip sekali seeh, btw boleh kenalan gak, eh anda cewek atau cowok” Glodak!! Pernah juga aku iseng sms ke nomor radio itu, yah request lagu juga sih, trus si penyiar bilang, waduh mas nomornya kok mirip sekali dengan nomor radio kita, jangan-jangan tetangga lagi.

Customer Care 24-7


Ini cerita tentang efek dari sebuah pekerjaan, bekerja sebagai customer service di sebuah perusahaan telekomunikasi terkenal dengan jumlah pelanggan yang seabrek. Orang-orang di sekitar saya pasti sedikit banyak menggunakan jasa produk perusahaan tempat saya bekerja. Sedangkan saya sebagai customer service tentu sangat lucu kalau sampai tidak menguasai produk-produk atau tidak bisa memberikan solusi atas beberapa masalah yang dialami customer. Maka seperti sebuah kutub, saya selalu dikelilingi orang-orang dekat (atau yang jadi dekat) yang juga pelanggan produk-produk perusahaan saya. Walhasil nomor telepon saya 0271-70xxxxx yang kebetulan cukup mudah dihapal, layaknya sebuah nomor hot service sering menyalak tak peduli waktu, bahkan kadang di tengah malam ada saja sms mampir yang menanyakan bagaimana caranya mengaktivasi fitur ini, kenapa nomor saya tidak bisa dipakai, nomor saya hilang tolong diblokir, berapa tarif bicara dari nomor ini ke nomor itu pada jam sekian, berapa besar tagihan saya bulan ini, bagaimana cara koneksi internet dengan media ini, kenapa tagihan saya tiba-tiba banyak? Yah bagaimana lagi mereka semua adalah orang-orang yang saya kenal, mau gak mau harus diberi pelayanan ekstra layaknya pelanggan blue chip, kecuali untuk beberapa masalah atau pertanyaan yang secara etis memang tidak bisa sembarangan dijawab, seperti menanyakan nomor sekian-sekian teregistrasi atas nama siapa dan sebagainya.

Kadang jengah juga sih, karena mendadak saya bagai selebritis yang dikejar-kejar fans, mereka datang dari semua lini mulai dari teman saya sendiri, famili (yang kadang hubungan darahnya terlalu panjang diceritakan), teman bapak saya dari komunitas wartawan (tahu sendiri wartawan secara naluri selalu ingin diperlakukan khusus), teman-teman ibu (kalangan birokrat dari sopir hingga pejabat eselon), teman-teman adik saya (ABG yang kadang malah jatuh cinta pada suara saya), temannya pacar saya, saudara-nya teman saya, tetangga dan mantan tetangga, bahkan dari sesama rekan kerja tapi di unit lain. Kadang untuk urusan-urusan yang agak urgent mereka gak segan-segan datang ke rumah. Setelah urusan kelar ada juga yang memberi salam tempel (amplop), tapi demi ikut membangun citra positif perusahaan (good corporate governance) saya harus berjuang mati-matian untuk menolaknya, walau agak nyesel juga “waduh padahal lagi butuh uang nih” we ke kek.


Harusnya perusahaan tempat saya bekerja memberi pendapatan lebih dari yang sekarang, karena memang posisi seperti saya rawan menerima gratifikasi, suap, atau sekedar uang terimakasih. Selain itu sebagai kompensasi karena walau cuma sedikit saya telah berandil menjadi customer care 24-7 (24 jam sehari, 7 hari seminggu) bagi perusahaan. Padahal hitungan overtime adalah sekitar Rp. 7,500/ jam nah tinggal kalikan saja.

Anthurium Sang Dewa Rejeki


Trend bisnis anthurium membuat gatal juga untuk sedikit memberi testimoni. Apalagi ketika bisnis itu merambah orang-orang terdekatku. Anthurium yang konon dulu hanya dijadikan makanan kambing oleh beberapa masyarakat agraris di Indonesia kini tampil bak primadona yang digadang-gadang, dengan nilai ekonomis mencapai ratusan juta bahkan milyaran. Efek langsung yang saya rasakan adalah ketika sang mamah di rumah ikut mencoba mengkoleksi beberapa wave of love dan anthurium jenmani di rumah. Saya ingat betul waktu satu buah gelombang cinta yang sudah agak besar hilang dicuri maling, mamah saya menjadi begitu senewen, seisi rumah kena getahnya. Maklum saja kalau dijual katanya sih sudah laku barang satu-dua juta. Juga ketika tahu2 beberapa helai daun jemani dikerikiti tikus. Edan!! tahu juga tuh si tikus ada makan malam bercitra ekslusif. Untuk mencegah hal itu terulang lagi, lampu belakang terus menerus dihidupkan di malam hari, padahal dulunya lupa mematikan barang sebentar saja pasti dimarahi we ke kek kek. Saat sekeluarga hunting mobil di Jakarta dan kebetulan saya tidak bisa ikut, maka saya ikut repot juga memasukkan, menyirami dan mengeluarkan tanaman-tanaman itu. Tapi yah dijalani aja, sapa tahu menghasilkan extra income bagi keluarga, sapa tahu lagi bisa sedikit nyiprat ke saya (walau kelihatannya sih bagi mamah tumbuhan2 itu NOT FOR SALE).

Trus ada kisah lagi yang cukup menggelitik hati, ada seorang kawan yang dulunya masih kerja serabutan (kalo tak ingin dibilang mengangur), tapi sudah berani menikah dan sekarang sudah dikaruniai seorang anak. Dari dulu mungkin hidupnya pas-pasan, hanya mengandalkan gaji sang istri yang tidak seberapa tapi mendadak sontak dia mendapat pundi-pundi harta yang luar biasa ya dari helai-helai bunga ekor itu. Dengan modal uang dua jutaan rupiah dia bisa mendapat uang 75 juta, sebuah jumlah yang fantastis baginya tentu. Yah ikut bersyukur juga sih, walau kadang di sisi hati yang lain agak sengkring-sengkring. Bayangkan saya kerja banting tulang datang pagi, pulang malam dengan tingkat absensi 0 % selama tiga tahun saja tidak bisa mencapai penghasilan sebesar itu. Dia baru beberapa bulan saja sudah dapat segitu. Ya mungkin inilah yang dinamakan saben uwong duwe dalan dewe-dewe.

“Kriminalitas berkembang sejalan dengan dinamisasi masyarakat” ungkapan itu memang gak diragukan lagi keabsahannya. Maling-maling spesialis anthurium bermunculan, dibilang betul2 spesialis karena di beberapa TKP sering ditemui barang-barang berharga lain seperti HP high end, laptop, perhiasan bahkan uang tunai utuh tanpa disentuh. Kayaknya maling-maling itu telah dibutakan matanya, gak ada barang lain yang layak dicuri selain anthurium. Seorang teman saya di Satreskrim Poltabes agak sebel juga menangani trend kriminalitas terbaru ini, bagaimana tidak jika biasanya BB (barang bukti) yang dia tangani hanya sepeda motor, mobil atau barang-barang elektronik yang dengan digeletakkan saja di garasi atau ruangan khusus tidak akan menimbulkan masalah apa-apa. Lha ini berhubung BB yang didapat adalah mahkluk hidup yang didewakan (katanya) maka tentu butuh perawatan ekstra (saya membayangkan tubuhnya yang kekar dengan pakaian safari dan revolver terselip di pingang, dan menyirami berpuluh-puluh tanaman itu). Tapi dia melakukannya bukan karena iming-iming amplop dari korban (yang tentu saja tak rela tanamannya almarhum di kantor Polisi) tapi perintah langsung dari atasannya yang mengatakan ini sebagai wujud nyata Polisi pelayan masyarakat. Bagooooeeeeeeeeesss.

Cerita tentang maling jemani hampir tiap hari menghiasi halaman kriminal di surat kabar lokal. Pernah ada cerita seorang maling pemula ketahuan sama peronda, bagai film kartun dia bukannya lari tapi malah undercover di tengah-tengah pot berukuran besar sambil tangannya memanggul sebuah tanaman, mungkin dipikirnya biar orang-orang mengira dia adalah pot mahal berbentuk patung, ya pasti ketahuan lah. Walhasil tubuhnya jadi sansak hidup, sebelum di bawa ke kantor Polisi.

Banyak juga orang-orang yang kontra terhadap bisnis ini. Seorang dosen ekonomi bilang, bisnis seperti ini paling hanya bertahan satu-dua tahun sebelum mencapai titik jenuh. Dia mewanti-wanti para pelaku bisnis ini seharusnya jangan terlalu all out dalam berinvestasi. Seorang epistoholik dalam salah satu surat pembacanya mengatakan bisnis ini hanya menambah daftar panjang “kesakitan” masyarakat Indonesia. Bahkan saat saya mengikuti sebuah Kultum pas tarawih, seorang ustadz yang secara finansial termasuk golongan menengah keatas secara mengejutkan berpendapat ini adalah skenario global dari musuh-musuh Islam dan kaum kapitalis, dia mencontohkan kasus orang-orang yang lupa beribadah karena terlalu sibuk merawat tanaman itu, juga orang yang rela menjual rumah warisan bahkan menggadaikan cincin kawin hanya untuk membuat sebuah nursery. Terakhir secara tidak sengaja saat motor saya bocor, adalah percakapan antara si tukang tambal ban dengan seorang tukang parkir. Pak tua si tukang parkir bilang kalau itu semua gak jauh beda dengan judi, politik orang-orang pinter, lotere dan sebangsanya. Setelah dieksplore lebih, ternyata bapak itu begitu benci karena rumah tangga anak gadisnya jadi sedikit berantakan gara-gara sang suami lebih mementingkan belanja tanaman daripada untuk aqiqah (selamatan) anak pertamanya yang baru lahir. Juga saat teman-teman sang menantu berkunjung bukannya tanya anaknya laki-laki atau perempuan tapi malah sibuk menanyakan jemani-nya sudah berapa daun. Dengan setengah senewen si bapak memaki “kon rabi karo godong wae” (suruh menikah dengan daun saja), saya hanya tersenyum simpul, sayang ban saya sudah selesai diperbaiki.
Saya pribadi kelihatannya memang tidak begitu tertarik dengan bisnis itu, bukannya apa-apa saya malas aja menambah daftar stress saya dengan memelihara daun-daun itu. Sekarang bibitnya saja sudah dijual ratusan ribu rupiah, apa gak bikin pusing kalo terus-menerus mikir, wah jangan-jangan dimakan ulat atau tikus, raib di curi orang atau kena tipu beli bibit palsu. Huuh kayaknya volume otak saya sudah tidak cukup deh. Tapi saya juga tidak akan benci, mengkritik atau menyerang para kolektor dan pebisnis anthurium itu. Yah hitung-hitung ikut menambah kesejahteraan masayarakat (walau mungkin hanya sesaat) dan menambah hijau bumi nusantara ini. Konon trend bisnis tanaman hias ini sudah disiratkan dalam kitab ramalan jayabaya, Walahuallam…..

Sabtu, 06 Oktober 2007

Kerja dan kerja


Usia sudah menjelang 25, Rumah belum punya, Motor aja belum lunas, tabungan hanya lewat......maka hanya kerja dan kerja yang harus dilakukan, sebab pernikahan sudah menjadi mimpi di tiap malam hari...


Bapak, Ibu, calon istri dan calon mertua....semua sahabat, relasi, famili dan bahkan musuh2ku (heran aku orang sebaik guwe kok ya masih punya musuh) akan kutunjukkan pada kalian arti sebuah perjuangan....
jangan kau usap lumpur di sepatu, karena itu tanda sebuah perjuangan
 
gitamarhendra@2007 all right reserved